MAKALAH
ASPEK HUKUM
DALAM PEMBANGUNAN
Disusun oleh:
Kelompok 4
4TA01
1.
Akmal Amrullah (10315435)
2.
Lia Lilyana Ariani (13315817)
3. Lita
Mutia Sari (13315852)
4. Maajid
Jati Laksamana (13315974)
5. Mei
Panita Sari (14315115)
6. Muhammad
Fiqri Firdaus Soleh (14315603)
7. Retno
Regita Pramesti (15315790)
8. Rischa
Andriani Permata Putri (16315051)
Program Studi
Teknik Sipil
Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan
Universitas
Gunadarma
2018
MATERI 4
PENYUSUNAN ANGGARAN PERUSAHAAN DAN/ATAU ANGGARAN
PROYEK PEMBANGUNAN
4.1
Prinsip-Prinsip
dalam Penganggaran
Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip
anggaran yaitu sebagai berikut:
1.
Transparansi dan
akuntabilitas anggaran
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang
jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat
dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Anggota masyarakat
memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena
menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk menuntut
pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
2.
Disiplin Anggaran
Pendapatan yang direncanakan merupakan
perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan. Sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos atau pasal
merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran
harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang
cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau proyek yang belum atau
tidak tersedia anggarannya. Dengan kata lain, bahwa penggunaan setiap pos
anggaran harus sesuai dengan kegiatan atau proyek yang diusulkan
3.
Keadilan Anggaran
Pemerintah
wajib mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar dapat dinikmati
oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan,
karena pendapatan pemerintah pada hakikatnya diperoleh melalui peran serta
masyarakat secara keseluruhan.
4.
Efisiensi dan efektivitas
Anggaran
Penyusunan
anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat
waktu pelaksanaan, dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan. Dana yang
tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan
peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat.
5.
Disusun dengan pendekatan
kinerja
Anggaran
yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya pencapaian hasil
kerja (output atau outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input yang
telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau
input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme
kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.
Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang
telah diuraikan di atas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan
perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut:
1.
Penerapan pendekatan
penganggaran dengan perspektif jangka menengah
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah
memberikan kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses
perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi
sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih
efisien. Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi
ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai
pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada
saat yang sama, harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam
konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah.
2.
Penerapan penganggaran
secara terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan instansi
pemerintah disusun secara terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja
rutin dan anggaran belanja pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang
diperlukan sebagai bagian upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran
menjadi lebih transparan, dan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran
yang berorientasi kinerja. Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan
menaksir kinerja program, sangat penting untuk mempertimbangkan biaya secara
keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya yang bersifat
operasional.
3.
Penerapan penganggaran
berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan
indikator kinerja sebagai bagian dari pengembangan sistem penganggaran
berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas
dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan
tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah. Rencana Kerja dan Anggaran
(RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh
karena itu, program dan kegiatan Kementerian Negara atau Lembaga atau SKPD
harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai
dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD).
4.2
Tipe-tipe
Anggaran
Terdapat beberpa tipe-tipe anggaran
seperti berikut:
1.
Ceiling
Budget
Tipe
anggaran yang dipakai untuk tujuan-tujuan pengawasan dinamakan Ceiling Budget. Anggaran jenis ini
mengawasi suatu instansi secara langsung dengan cara menentukan batas-batas
pengeluaran melalui peraturan penggunaan atau pemberian, atau secara tidak
langsung dengan cara membatasi penghasilan instansi pada sumber yang diketahui
dan jumlah yang terbatas.
2.
A
Line-Item Budget
Tipe
ini menggolongkan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan jenis, digunakan untuk
mengawasi jenis-jenis pengeluaran dan juga jumlah totalnya
3.
Performance
and Program Budgets
Tipe
ini berguna untuk menspesifikasi aktivitas-aktivitas atau program-program
berdasarkan mana dana digunakan, dan dengan cara demikian membantu dalam
evaluasinya. Dengan cara memisahkan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan fungsi
(seperti kesehatan atau keamanan publik) atau berdasarkan jenis pengeluaran
(seperti kepegawaian dan peralatan) atau berdasarkan sumber penghasilan seperti
pajak kekayaan atau biaya-biaya pemakaian (user
fees), para administrator dan para anggota legislatif bisa mendapatkan
laporan-laporan yang tepat mengenai transaksi-transaksi keuangan, untuk
mempertahankan baik efisiensi ke dalam maupun pengawasan dari luar.
4.3
Fungsi
Administrasi dalam Pembangunan
Adapun
fungsi administrasi dalam sebuah pembangunan adalah sebagai berikut:
1.
Perencanaan
Merupakan
pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan, untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki dan tugas pokok dalam administrasi bagi pembangunan. Adanya
ketimpangan antara sumber daya dengan kebutuhan pembangunan sehingga memerlukan
perencanaan agar tercapai efektivitas dan efisiensi. Adapun unsur pokok dalam
sebuah perencanaan adalah penyusunan rencana yang harus memiliki, mengetahui,
dan memperhitungkan yang mana sebagai berikut:
a.
Tujuan akhir yang dikehendaki
b.
Sasaran dan prioritas untuk
mewujudkannya
c.
Jangka waktu untuk mencapai sasaran tersebut
d.
Masalah-masalah yang dihadapi
e.
Modal/sumber daya yang akan digunakan
serta pengalokasiannya
f.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk
melaksanakannya
g.
Orang, organisasi dan badan
pelaksanaannya
h.
Mekanisme pemantauan, evaluasi dan
pengawasan pelaksanaannya
i.
Perencanaan bersifat kontinyu
Adapun kegagalan dalam
sebuah perencanaan apabila:
a.
Penyusunan perencanaan tidak tepat
b.
Pelaksanaan tidak sesuai perencanaan
c.
Perencanaan mengikuti paradugma tidak
sesuai dengan kondisi dan perkembangan di negara tertentu
d.
Perencanaan yang terlalu terpusat
Untuk mengantisipasi
adanya kegagalan, beberapa hal yang harus dilakukan ialah sebagai berikut:
a.
Perencanaan harus dilakukan secara kontinyu
b.
Proses perencanaan yg kontinyu terdapat
unsur-unsur
1)
Beorientasi kepada pelaksanaan
2)
Mengandung unsur kontinuitas dan
fleksibilitas
3)
Mengusahakan agar perencanaan bersifat
seoperasional mungkin
4)
Adanya sistem pengendalian pelaksanaan
pembangunan
5)
Perlu adanya proses penyesuaian rencana
sesuai dengan pelaksanaan
2.
Pengerahan Sumber Daya
Sumber daya yang
dimaksudkan dapat berupa dana, sumber daya manusia, sumber daya alam,
teknologi, organisasi atau kelembagaan. Pembangunan sebagai kegiatan yang
kompleks meliputi berbagai disiplin, sektor, kepentingan, dan kegiatan sehingga
dalam hal ini memerlukan lembaga-lembaga yang mampu menampung, menyalurkan, dan
mengatasi, serta mensinergikan berbagai aspek tersebut.
3.
Pengerahan partisipasi masyarakat
Dalam administrasi pembangunan
harus:
a.
Melibatkan rakyat
b.
Harus dipahami maksudnya oleh rakyat
c.
Harus mengikutsertakan rakyat dalam
pelaksanaannya
d.
Dilaksanakan sesuai dengan maksudnya
secara jujur, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Aspek penting dalam
partisipasi adalah sebagai berikut:
a.
Terlibatnya rakyat dalam proses politik
untuk arah, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan
b.
Meningkatnya artikulasi (kemampuan)
masyarakat dalam pembangunan
c.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan
nyata yang konsisten dengan arah, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan
d.
Adanya perumusan dan pelaksanaan
program-program partisipatif dalam pembangunan
4.
Penganggaran
Penganggaran adalah
dana yang tersedia untuk membiayai kegiatan pembangunan yang direncanakan.
Terdiri dari dana yang bersumber dari penerimaan dalam negeri dikurangi belanja
rutin yang disebut juga sebagai tabungan pemerintah, dan bantuan luar negeri
berupa pinjaman atau hibah. Pinjaman luar negeri dapat berbentuk bantuan
program dan bantuan proyek.
5.
Pelaksanaan pembangunan
Proyek-proyek
pembangunan harus memuat dengan jelas dari segi:
a.
Tujuannya (objective)
b.
Sasaran yang akan dicapai (target)
c.
Cara mengukur keberhasilannya (performance evaluation)
d.
Jangka waktu pelaksanaannya
e.
Tempat pelaksaannya
f.
Cara melaksanakan
g.
Kebijaksanaan untuk menjamin proyek itu
dapat dilaksanakan
h.
Biaya
i.
Tenaga yang diperlukan dan badan yang
akan melaksanakannya
Tugas
administrasi pembangunan untuk menjamin bahwa proyek-proyek pembangunan yang
secara fisik dilaksanakan atau dibiayai oleh anggaran pemerintah, berjalan
seperti yang dikehendaki dan mencapai sasaran seperti yang direncanakan dengan
cara seefisien mungkin.
6.
Koordinasi
Dengan koordinasi diupayakan agar
pembangunan yang dilaksanakan dalam berbagai sektor dan oleh berbagai badan
serta di berbagai daerah berjalan serasi dan menghasilkan sinergi. Koordinasi
merupakan upaya untuk menghasilkan pembangunan yang efisien dalam pemanfaatan
sumber daya untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal.
7.
Pemantauan dan evaluasi
Pemantauan diperlukan agar
pelaksanaan pembangunan yang bergeser dari rencana dapat diketahui secara dini
dan diambil langkah-langkah yang sesuai. Evaluasi kinerja dapat memberikan
informasi tidak hanya menyangkut input
dan output tetapi lebih jauh lagi
menyangkut hasil dan manfaat serta dampaknya. Pergeseran tersebut dapat terjadi
karena beberapa hal di bawah ini:
a.
Hambatan yang tidak diketahui atau diperhitungkan
pada waktu perencanaan
b.
Perkembangan keadaan yang tidak dapat
diantisipasi pada tahap perencanaan
c.
Realisasi dari perkiraan yang berbeda
dari perencanaan
d.
Perencanaanya keliru
Tugas administrasi pembangunan
untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan, serta mengambil
langkah-langkah apabila dari haisl pemantauan diperlukan pemecahan masalah atau
perubahan pada upaya pembangunan yang direncanakan.
8.
Pengawasan
Pengawasan
lebih baik apabila bersifat menangkal kerugian yang lebih besar. Kegiatan
pengawasan berfokus pada siapa, apa yang salah dan mengapa kesalahan itu
terjadi.
9.
Peran informasi
Ketersediaan data/informasi yang
lengkap dan akurat sangat diperlukan dalam manajemen pembangunan bahkan menjadi
modal pokok dalam perencanaan. Untuk itu diperlukan suatu sistem informasi agar
informasi dapat diperoleh secara cepat dan akurat.
4.4
Pokok-Pokok
Anggaran Pembangunan Tahun 2000
4.4.1
Landasan
Penyusunan Anggaran
Anggaran pembangunan Tahun 2000 (9 bulan) disusun sesuai dengan
amanat yang tertuang dalam berbagai Ketetapan MPR, khususnya Ketetapan MPR
Nomor: IV/MPR/1999 Tentang GBHN. Penyusunan Anggaran Pembangunan Tahun 2000
sejauh mungkin juga telah merintis berbagai langkah awal kebijakan yang akan
ditempuh dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Landasan atau pertimbangan utama
dalam penyusunan anggaran Tahun 2000 antara lain:
1.
Meningkatkan operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
ekonomi, termasuk jasa pelayanan transportasi, telekomunikasi, kelistrikan,
permukiman, guna mendorong pemerataan pembangunan, serta membuka keterisolasian
wilayah.
2.
Melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat perluasan
lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan melalui program pendidikan,
kesehatan dan berbagai program di bidang sosial dan ekonomi lainnya.
3.
Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri dengan penyediaan
dana pendamping yang cukup dan dilaksanakan secara transparan, efektif dan
efisien.
4.4.2
Alokasi
Anggaran Pembangunan
Alokasi
anggaran yang menitikberatkan kepada dana yang akan dikelola Pemerintah Daerah,
menunjukkan kesungguhan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, meskipun berbagai Peraturan
Pemerintah yang mengatur pelaksanaan kedua undang-undang tersebut masih dalam
proses penyelesaian disebabkan:
1.
Peningkatan dana pembangunan yang
dikelola daerah, maka alokasi anggaran yang dikelola oleh instansi pusat menurun
29,8 % dibandingkan dengan Tahun 1999/2000 (9 bulan), yaitu dari Rp 11,7
triliun tahun 1999/2000 (9 bulan) menjadi Rp 8,2 triliun Tahun 2000.
2.
Proyeksi atau penarikan pinjaman proyek
dalam Tahun 2000 adalah Rp 16,0 triliun, atau menurun 28,8 % dibandingkan
dengan tahun 1999/2000, sesuai dengan perkiraan kemampuan daya serap
proyek-proyek bersangkutan.
4.4.3
Penyusunan
Daftar Proyek Pembangunan Tahun 2000
Bappenas dan Departemen Keuangan dalam
penyusunan anggaran pembangunan Tahun 2000 hanya memerinci sampai dengan subsector
atau program, sedangkan rincian lebih lanjut menurut proyek atau kegiatan akan
ditetapkan sendiri oleh Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya meningkatkan wewenang dan tanggung
jawab Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam menentukan prioritas
proyek pembangunan yang akan dilaksanakan. Rincian sektor/subsektor telah
menjadi bagian dari Nota Keuangan dan Rancangan Undang-undang APBN 2000.
Rincian program yang dikeluarkan Bappenas dan Departemen Keuangan hanyalah
merupakan angka indikatif. Susunan akhir dari proyek akan ditetapkan oleh
Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Langkah ini ditempuh untuk memberikan
keluwesan kepada departemen/ lembaga/ emerintah daerah dalam menetapkan proyek
masing-masing.
4.4.4
Pengolahan
Daftar Isian Proyek (DIP) Tahun 2000
Seperti
halnya Tahun 1999/2000, pengolahan DIP yang berlokasi di daerah tidak dilakukan
di Bappenas dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Anggaran, akan tetapi
dilimpahkan kewenangan pengolahannya kepada Bappeda Propinsi, Kanwil Direktorat
Jenderal Anggaran dan Kanwil Departemen/Lembaga. Perlu dikemukakan bahwa
anggaran proyek yang berlokasi di daerah tidak lagi dikelola oleh instansi
pusat. Jika diperlukan pengadaan terpusat, maka hal itu dapat dilakukan melalui
kuasa dari pemimpin proyek bersangkutan kepada Panitia Pengadaan Pusat instansi
yang bersangkutan.
MATERI 5
Pedoman Pengadaan Barang Atau Jasa
untuk Instalasi Pemerintah
5.1
Pendahuluan
Pengadaan
barang atau jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang atau jasa oleh
Kementerian atau Lembaga atau Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari
perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
barang atau jasa. Dalam hal ini proses yang dimaksud diatur dalam peraturan
presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Gambar
5.1 kegiatan pegadaan barang atau jasa
Penjelasan gambar tersebut
diuraikan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Untuk dapat menjalankan pemerintahan
dibutuhkan barang atau jasa pemerintah dengan spesifikasi tertentu. Maka
berdasarkan identifikasi kebutuhan akan didapatkan daftar kebutuhan barang atau
jasa pemerintah.
2.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut
maka diperlukan kegiatan pengadaan barang atau jasa pemerintah.
3.
Untuk mengatur proses pengadaan ini maka
Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Perpres 54 Tahun 2010 yang dibuat
didasarkan peraturan-peraturan yang terkait.
4.
Secara garis besar, Perpres 54 Tahun 2010
mengatur:
Bagaimana kegiatan
pengadaan harus dilakukan yaitu pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran
menyusun rencana. Pengadaan barang atau jasa pemerintah dilakukan dengan
mengacu pada sejumlah peraturan dan kebijakan. Dasar hukum dan ketentuan atau peraturan
pengadaan barang atau jasa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
sebagai berikut:
1.
Dasar Hukum Utama
Dasar hukum utama yang
digunakan sebagai dasar pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah yaitu
sebagai berikut:
a.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355)
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956)
d.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 106 tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemertintah.
e.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 54 tahun 2010 tentang Lembaga Kebijakan Pengandaan Barang/Jasa
Pemerintah.
2.
Dasar Hukum Terkait
Sedangkan dasar hukum yang terkait dengan
pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah adalah sebagai berikut:
a.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
c.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2000 tentang Jasa Konstruksi.
d.
Peraturan Pemertintah Nomor 30 Tahun
2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi.
5.2
Etika
Pengadaan
Pengadaan
barang atau jasa harus dilakukan dengan menjunjung tinggi etika pengadaan.
Etika pengadaan diharapkan dapat membuat pengadaan barang atau jasa berlangsung
dengan baik. Etika pengadaan barang atau jasa meiputi:
1.
Melakukan tugas secara tertib disertai
rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya
tujuan pengadaan barang atau jasa
2.
Bekerja secara profesional dan mandiri,
serta menjaga rahasia dokumen pengadaan barang atau jasa yang menurut sifatnya
harus dirahasiakan untuk mecegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang
atau jasa
3.
Tidak saling mempengaruhi baik langsung
maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat
4.
Menerima dan bertanggung jawab atas
segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak
5.
Menghindari dan mencegah terjadinya
pertentangan kepentingan para pihak yang terkait baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam proses pengadaan barang atau jasa
6.
Menghindari dan mencegah terjadinya
pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang atau jasa
7.
Menghindari dan mencegah penyalahgunaan
wewenang dan kolusi dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan atau
pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara
8.
Tidak menerima, tidak menawarkan atau
tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat
dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga
berkaitan dengan pengadaan barang atau jasa
Para pihak dalam proses
pengadaan harus memegang teguh etika pengadaan seperti yang diuraikan diatas.
Pelanggaran terhadap salah satu atau lebih etika dapat dipastikan akan melanggar
prinsip-prinsip pengadaan. Sebagai contoh apabila melanggar etika a, yaitu
bekerja dengan tidak tertib akan melanggar prinsip akuntabel dan efisien atau
efektif. Demikian bila melanggar etika b, yaitu bekerja secara profesional dan
mandiri serta menjaga kerahasiaan akan melanggar prinsip bersaing dan tidak
diskriminatif dan akuntabel atau transparan.
Semakin banyak etika
yang dilanggar dapat semakin dipastikan bahwa tujuan pengaturan proses
pengadaan barang atau jasa melalui Prepres 54 Tahun 2010 ini menjadi tidak
tercapai, yaitu sebagai berikut:
1.
Pengadaan barang atau jasa menjadi tidak
efisien dan efektif
2.
Persaingan menjadi tidak terbuka dan
tidak kompetitif
3.
Ketersediaan barang/jasa yang terjangkau
dan berkualitas menjadi tidak tercapai
4.
Meningkatnya kapasitas dan kemampuan
penyedia karena adanya persaingan yang sehat menjadi sulit tercapai
5.
Pada gilirannya kualitas pelayanan
publik akan sulit ditingkatkan
5.3
Pengendalian
dan pengawasan
Tugas
dan wewenang para pihak dalam pengendalian dan pengawasan pengadaan barang atau
jasa adalah sebagai berikut:
1.
Pimpinan K/L/D/I
a.
Memerikan laporan secara berkala tentang
realisasi pengadaan barang/jasa kepada LKPP
b.
Melakukan pengawasan terhadap
PPK/ULP/Penjabat Pengadaan/Penjabat Penerima Hasil Pekerjaan
c.
Menugaskan aparat pengawas intern untuk
melakukan audit
d.
Membuat daftar hitam bagi penyedia
jasa/barang sesuai dengan ketentuan
e.
Memberikan sanksi kepada penyedia
barang/jasa setelah mendapat masukan dari PPK/ULP/PP sesuai dengan ketentuan
2.
PPK/I;P/Penjabat Pengadaan
a.
Memberikan sanksi administrasi kepada
peyedia barang/jasa sesuai dengan ketentuan
b.
Mengusulkan sanksi pencantuman dalam
daftar hitam kepada PA/KPA atas pelanggaran penyedia barang/jasa sesuai dengan
ketentuan
3.
APIP K/L/D/I
a.
Menindaklanjuti pengaduan penyedian
barang/jasa dan masyarakat yang dianggap beralasan mempunyai bukti sesuai
dengan kewenangannya.
b.
Hasil tidak lanjut pengaduan dilaporkan
kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga/Kepala Daera/Pimpinan institusi.
c.
Dari hasil tindak lanjut bila diyakini
terdapat indikasi KKN yang akan merugikan keuangan negara, dapat dilaporkan
kepada instansi yang berwenang dengan persetujuan Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi dengan tembusan kepada LKPP dan BPKP
4.
LKPP
a.
Melakukan evaluasi atas laporan berkala
yang dibuat K/L/D/I tentang pelaksanaan pengadaan barang/jasa
b.
Menindak lanjuti pengaduan yang didukung
bukti sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
c.
Mengumumkan secara nasional daftar
hiitam yang dibuat K/L/D/I
5.
Penyedia Barang Atau Jasa
a. Bila menemukan indikasi penyimpangan
prosedur, KKN dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan pelangaran persaingan
yang sehat dapat mengajukan pengaduan atas proses pemilihan penyedia
barang/jasa
b.
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditunjukan kepada APIP K/L/D/I yang bersangkutan dan LKPP, disertai
bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan
5.4
Sanksi
Apabila
terjadi pelanggaran sesuai dengan kewenangannya pimpinan k/L/D/I dapat
memberikan sanksi baik kepada penyedia maupun kepada PPK/ULP/Penjabat
pengadaan. Sanksi yang dapat diberikan kepada penyedia karena pelanggaran
tersebut berupa:
1.
Sanksi administratif
2.
Sanksi pencantuman dalam daftar hitam
3.
Gugatan secara perdata
4.
Pelaporan secara pidana kepada pihak
berwenang
Sedangkan sanksi yang
apat diberikan kepada ULP/Penjabat pengadaan yang melakukan kecurangan:
1.
Dikenakan sanksi administrasi
2.
Dituntut ganti rugi
3.
Dilaporkan secara pidana
Tabel 5.2 Perbuatan atau Tindakan Penyedia yang
Dapat Dikenakan Sanksi Beserta Jenis-jenis Sanksinya
Tabel 5.3 Perbuatan atau Tindakan ULP atau Penjabat Pengadaan yang Dapat Dikenakan Sanksi
Beserta Jenis-jenis Sanksinya
Tabel 5.4 Perbuatan
atau Tindakan PPK yang Dapat Dikenakan Sanksi Beserta Jenis-jenis Sanksinya
MATERI 6
KAJIAN PERATURAN
DAN PERUNDANG-UNDANGAN JASA KONSTRUKSI
6.1
PENDAHULUAN
Pengaturan
jasa konstruksi bertujuan untuk mewujudkan keteraturan dalam tatanan
penyelenggaraan jasa konstruksi. Pengaturan tersebut mengatur segala aspek
penyelenggaraan jasa konstruksi yang berkaitan dengan pekerjaan/proyek
konstruksi, pengembangan usaha jasa konstruksi dan pemberdayaan masyarakat jasa
konstruksi.
Salah
satu aspek penyelenggaraan jasa konstruksi yang berkaitan dengan
pekerjaan/proyek konstruksi adalah kegiatan pengadaan jasa pemborongan
konstruksi. Kegiatan pengadaan jasa pemborongan konstruksi diartikan sebagai
kegiatan yang ditujukan untuk menyediakan layanan jasa pemborongan konstruksi
yang berkompeten dalam mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
Secara hukum yuridis, bentuk dari suatu pengaturan dilakukan dengan penetapan
berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan jasa
konstruksi yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Jasa
Konstruksi No. 18 Tahun 1999 (UUJK No.18/1999). Berdasarkan Undang-Undang ini
ditetapkan berbagai peraturan pelaksana yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), dan
sebagainya.
Dalam
kajian ini akan dikaji beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi untuk mewujudkan hasil
pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Ketentuan tersebut antara lain UUJK No.
18/1999 beserta Peraturan Pemerintah yang terkait (PP No. 28/2000, PP No.
29/2000) serta Keppres No. 80/2003 beserta perubahannya (Keppres No. 61/2004,
Perpres No. 32/2005, Perpres No. 70/2005, Perpres No. 8/2006, Perpres No.
79/2006, Perpres No. 85/2006, dan Perpres No. 95/2007).
6.2
PERUNDANG-UNDANGAN JASA KONSTRUKSI
6.2.1
Undang-undang Jasa Konstruksi
(UUJK) No. 18 Tahun 1999)
UUJK
No. 18/1999 merupakan landasan hukum pengaturan jasa konstruksi yang terencana,
terarah, dan menyeluruh dalam rangka mengembangkan jasa konstruksi. Dengan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa
konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa dan penyedia jasa,
baik nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum
dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi (Butir 9 Penjelasan Bab I Umum UUJK
No. 18/1999).
Sesuai
dengan hirarki peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan Undang-undang,
ketentuan dalam UUJK No. 18/1999 bersifat umum dan perlu diturunkan dalam
bentuk peraturan pelaksanaan untuk penerapannya dengan tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.
Untuk
lebih memahami mengenai UUJK No. 18/1999, berikut kajian latar belakang dan
struktur isi UUJK No. 18/1999. Sehubungan dengan lingkup penelitian ini,
pembahasannya dilakukan dari sudut pandang pengaturan Pengadaan Jasa
Pemborongan Konstruksi.
6.2.2
Latar Belakang Lahirnya UUJK No. 18
tahun 1999
Pengaturan
jasa konstruksi dalam UUJK No. 18/1999 dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan
dan cita-cita luhur jasa konstruksi dimana dengan adanya UUJK No. 18/1999, jasa
konstruksi diharapkan dapat:
1.
Berperan dalam pembangunan nasional
disarikan dari ayat 1 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999
2.
Terwujud kesetaraan kedudukan antara
pengguna jasa dan penyedia jasa (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum
UUJK No. 18/1999)
3.
Terbentuk usaha yang profesional dan
kokoh (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999), dan
4.
Menghasilkan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana (disarikan dari ayat 2 Penjelasan
Bab I Umum UUJK No. 18/1999)
Peran
jasa konstruksi dalam pembangunan nasional yaitu melalui kegiatan pembangunan.
Yang mana hasil akhir dari pembangunan adalah bangunan fisik berupa sarana dan
prasarana. Peran jasa konstruksi secara langsung dalam pembangunan nasional
yaitu:
1.
Mengurangi pengangguran dengan membuka
lapangan kerja bagi tenaga kerja konstruksi yaitu tenaga ahli dan tenaga
terampil
2.
Membuka peluang usaha bagi perusahaan
yang bergerak di bidang industri barang dan jasa yang berkaitan dengan pekerjaan
konstruksi
3.
Meningkatkan pendapatan negara melalui
sektor konstruksi
Peran
jasa konstruksi secara tidak langsung adalah mendukung pertumbuhan dan
perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui hasil pembangunan atau
pelaksanaan pekerjaan konstruksi Hal inilah yang menyebabkan pemerintah
berinisiatif menyusun konsep awal Undang-Undang Jasa Konstruksi pada tahun 1988
dan selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi meneruskan konsep awal
Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) hingga ditetapkannya UUJK pada
tanggal 22 Maret 1999. Keempat latar belakang lahirnya UUJK No. 18/1999
tersebut di atas saling berhubungan satu dengan lainnya dimana hubungan
ketergantungan yang dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 6.1 Hubungan ketergantungan antara 4 (empat) cita-cita jasa
konstruksi
Usaha
yang profesional dan kokoh serta kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan
penyedia jasa dalam hak dan kewajibannya merupakan syarat untuk menghasilkan
konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana. Yang pada akhirnya,
melalui hasil konstruksi tersebut jasa konstruksi dapat berperan dalam
pembangunan nasional melalui pertumbuhan dan perkembangan pada bidang ekonomi,
sosial dan budaya.
6.3
Struktur Isi UUJK No. 18 Tahun 1999


Gambar 6.2 Struktur Isi UUJK No. 18 tahun 1999
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaturan dalam UUJK No. 18/1999 memiliki
cita-cita akhir agar jasa konstruksi berperan dalam pembangunan nasional. Untuk
dapat berperan dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi melalui kegiatan
pembangunannya harus menghasilkan konstruksi yang berkualitas, untuk
menghasilkan konstruksi yang berkualitas tersebut harus didukung oleh usaha
yang profesional dan kokoh serta terwujudnya kesetaraan kedudukan antara
pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajibannya. Maka dapat
disimpulkan, terdapat 3 (tiga) cita-cita pendukung yang mendukung tercapainya
peran jasa konstuksi dalam pembangunan nasional dan untuk tercapainya cita-cita
tersebut perlu dijabarkan dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUJK
No.18/1999.
1.
Pengaturan yang bertujuan untuk mewujudkan Usaha yang Profesional dan
Kokoh
Dalam
mencapai tujuan mewujudkan Usaha yang Profesional dan Kokoh dilakukan dengan
pengaturan terhadap 4 (empat) ketentuan yaitu Ketentuan Usaha Jasa Konstruksi,
Pembinaan Usaha, Pengembangan Usaha, dan Peran Masyarakat.
Ketentuan
Usaha Jasa Konstruksi merupakan dasar untuk dilakukannya Pembinaan Usaha dan
Pengembangan Usaha. Pembinaan Usaha dilakukan oleh pemerintah kepada penyedia
jasa, pengguna jasa dan masyarakat meliputi Pengaturan, Pemberdayaan dan
Pengawasan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pembinaan bertujuan
untuk mendorong penyedia jasa, pengguna jasa dan masyarakat untuk mengetahui
dan memahami hak, kewajiban dan perannya dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi.
a.
Ketentuan Usaha Jasa Konstruksi (Pasal 4
sd 10) Ketentuan usaha terdiri dari:
1)
Jenis usaha, menunjukan layanan kegiatan
usaha, perencanaan / pelaksanaan / pengawasan pekerjaan konstruksi (Pasal 4)
2)
bentuk usaha, menunjukan bentuk usaha
tersebut usaha orang perseorangan atau berbentuk badan usaha (Pasal 5),
3)
bidang usaha, menunjukkan usaha tersebut
bergerak dibidang arsitektut/sipil/mekanikal/elektrikal/tata lingkungan (Pasal
6), dan
4)
persyaratan usaha.meliputi izin usaha
dan sertifikat, klasifikasi dan kualifikasi usaha (Pasal 8)
b.
Pembinaan Usaha (Pasal 35)
Berkaitan dengan peran jasa konstruksi dalam
pembangunan nasional untuk mendukung perluasan lapangan usaha dan kerja, maka
Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap jasa konstruksi.
Pembinaan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan dan
pengawasan kepada penyedia jasa, pengguna jasa dan masyarakat (pasal 35).
Pengaturan dilakukan dalam bentuk penerbitan peraturan-peraturan dan
stándar-stándar teknis, sedangkan pemberdayaan dilakukan dengan maksud untuk
meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban serta kemampuan usaha berkaitan
dengan kualifikasi usaha agar dapat memenuhi hak dan kewajibannya dalam
pelaksanaan jasa konstruksi. Pengawasan dilakukan untuk menjamin terwujudnya
ketertiban jasa konstruksi dalam pemenuhan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c.
Pengembangan Usaha (Pasal 12 sd 13)
Pengembangan usaha jasa konstruksi dilakukan dengan
tujuan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan
yang sinergis antara usaha yang besar, menengah dan kecil, maupun usaha yang
bersifat umum, spesialis dan keterampilan tertentu sesuai dengan jenis usahanya
yaitu, perencanaan atau pelaksanaan atau pengawasan pekerjaan konstruksi (pasal
12). Pengembangan usaha yang dilakukan meliputi dukungan modal termasuk
pertanggungan untuk mengatasi resiko dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi
(pasal 13 butir a) dan pertanggungan jenis usaha pertanggungan (pasal 13 butir
b).
d.
Peran Masyarakat
Peran masyarakat meliputi hak (pasal 29) dan
kewajiban (pasal 30) masyarakat dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
dalam bentuk pengawasan untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi. Masyarakat berkewajiban untuk mengawasi atau menjaga agar
pelaksanaan konstruksi berjalan tertib dan memenuhi ketentuan yang berlaku di
bidang jasa konstruksi dan mencegah terjadinya pekerjaan yang membahayakan
kepentingan umum. Selain kewajiban, masyarakat juga berhak untuk memperoleh
penggantian yang layak atas kerugian dari penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
tersebut. Peran masyarakat dilaksanakan melalui suatu forum jasa konstruksi.
2.
Pengaturan yang bertujuan untuk mewujudkan Kesetaraan Kedudukan antara
Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa
Kesetaraan
kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa mengenai hak dan kewajiban
dalam kegiatan pengikatan (pasal 17) dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
(pasal 23 dan 24) serta penyelesaian perselisihan/sengketa (pasal 36 dan pasal
37).






Pengikatan
pekerjaan konstruksi yang dilakukan dengan prinsip persaingan sehat melalui
kegiatan pemilihan penyedia jasa dilakukan untuk mendapatkan penyedia jasa yang
berkualitas atau memenuhi kualifikasi untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi
sesuai kontrak dan jika terjadi masalah dalam pengikatan dan penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi termasuk kegagalan bangunan maka masalah tersebut harus
diselesaikan dan ketentuannya diatur dalam UUJK No. 18/1999.
a.
Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Pengikatan pekerjaan konstruksi dilakukan dengan
prinsip persaingan sehat melalui pemilihan penyedia jasa (pasal 17 ayat 1)
untuk mendapatkan penyedia jasa yang berkualitas dan memenuhi kualifikasi yang
dibutuhkan dilakukan dengan metoda pelelangan umum dan pelelangan terbatas.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pemilihan tersebut yaitu pengguna jasa
dan penyedia jasa. Dimana pengguna jasa dan penyedia memiliki hak dan kewajiban
dalam kegiatan tersebut. Untuk itu dibutuhkan pembinaan berupa pengaturan yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban dari pengguna jasa dan penyedia jasa.
Selain pengaturan, dalam kegiatan pemilihan penyedia jasa terdapat persyaratan
yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa agar dapat lulus dalam evaluasi atau
penilaian baik penilaian kualifikasi maupun persyaratan lainnya. Jika penyedia
jasa tersebut merasa tidak memenuhi kualifikasi dan persyaratan lainnya yang
ditetapkan oleh pengguna jasa, penyedia jasa tersebut dapat melakukan
pengembangan usaha dalam bentuk kemitraan dengan penyedia jasa lainnya agar
dapat memenuhi persyaratan kualifikasi tersebut. Selain itu, pemerintah juga
melakukan kegiatan pembinaan dalam bentuk pemberdayaan untuk mendorong penyedia
jasa agar meningkatkan kemampuan usahanya berkaitan dengan kualifikasi
usahanya.
b.
Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi
(Pasal 23 sd 24)
Penyelengaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang masing-masing dilaksanakan melalui
kegiatan penyiapan, pengerjaan dan pengakhiran (pasal 23). Setiap tahapan
pekerjaan konstruksi harus sesuai dengan jenis dan bidang usahanya atau
memenuhi ketentuan keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja,
perlindungan tenaga kerja, dan tata lingkungan setempat untuk menjamin tertib
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
c.
Penyelesaian Sengketa/Perselisihan
(Pasal 36 sd 37)
Sengketa atau perselisihan dapat terjadi pada
kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (pasal 36 dan
pasal 37) serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Sengketa dapat
diselesaikan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian dengan
pengadilan hanya dilakukan jika penyelesaian diluar pengadilan tidak berhasil.
Penyelesaian sengketa telah ditetapkan dalam kontrak kerja konstruksi dan
disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut.
3.
Pengaturan yang bertujuan untuk mewujudkan Hasil Pekerjaan Konstruksi
berkualitas dan berfungsi sebagai berikut:





a.
Pekerjaan Konstruksi (Pasal 23-24)
Setiap tahapan pekerjaan konstruksi harus dilakukan
oleh badan usaha/orang perseorangan dengan jenis dan bidang usaha yang sesuai.
Hal ini ditunjukkan dengan sertifikat klasifikasi dan kualifikasi usaha yang
telah diregistrasi oleh lembaga yang telah ditunjuk. Tenaga ahli dan terampil
yang melaksanakan pekerjaan konstruksi juga harus sesuai dengan bidang keahlian
atau profesinya agar dapat bertanggungjawab terhadap hasil pekerjaannya jika
terjadi kegagalan bangunan.
b.
Kegagalan Bangunan (Pasal 25-28)
Berkaitan dengan penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi, dapat terjadi kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan dapat terjadi
pada saat pengerjaan pelaksanaan konstruksi dan atau pada saat pemanfaatannya.
Dimana bangunan tidak dapat berfungsi sebagaimana yang direncanakan. Kegagalan
bangunan dapat disebabkan oleh pengguna jasa dan atau penyedia jasa baik
perencana, pelaksana maupun pengawas pekerjaan konstruksi. hak dan kewajiban
dari pengguna jasa dan penyedia jasa berkaitan dengan kegagalan bangunan diatur
dalam kontrak kerja konstruksi.
6.4
MANFAAT UUJK NO. 18 TAHUN 1999
Manfaat
UUJK bagi Masyarakat Konstruksi
1.
Adanya pembagian peran berupa tanggung jawab dan kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.
2.
Menjamin terciptanya penyelenggaraan tertib usaha jasa konstruksi yang
adil, sehat dan terbuka melalui pola persaingan yang sehat.
3.
Meningkatnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan jasa
konstruksi melalui kemitraan dan sistem informasi, sebagai bagian dari
pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi.
4.
Lingkup pengaturan yang diperluas tidak hanya mengatur usaha jasa
konstruksi melainkan mengatur rantai pasok sebagai pendukung jasa konstruksi
dan usaha penyediaan bangunan.
5.
Adanya aspek perlindungan hukum terhadap upaya yang menghambat penyelenggaraan
jasa konstruksi agar tidak mengganggu proses pembangunan. Perlindungan ini
termasuk perlindungan bagi pengguna dan penyedia jasa dalam melaksanakan
pekerjaan konstruksi. Pada RUU tentang Jasa Konstruksi yang baru tidak terdapat
klausul kegagalan pekerjaan konstruksi hanya ada klasul kegagalan bangunan. Hal
ini sebagai perlindungan antara pengguna dan penyedia jasa saat melaksanakan
pekerjaan konstruksi.
6.
Perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia dalam bekerja di bidang jasa
konstruksi, termasuk pengaturan badan usaha asing yang bekerja di Indonesia,
juga penetapan standar remunerasi minimal untuk tenaga kerja konstruksi.
7.
Adanya jaring pengaman terhadap investasi yang akan masuk di bidang
jasa konstruksi.
8.
Mewujudkan jaminan mutu penyelenggaraan jasa konstruksi yang sejalan
dengan nilai-nilai keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K4).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Damopolii, 2017. Prinsip
Dasar dan Etika Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. http://ahmaddamopolii.info/2017/08/02/prinsip-dasar-dan-etika-pengadaan-barangjasa-pemerintah/ .(Diakses tanggal 5 November 2018)
Bappenas, 2000. Pembiayaan
dan pengendalian rancangan anggaran pembangunan. https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/pembiayaan-dan-pengendalian/rancangan-anggaran-pembangunan-dalam-rapbn-2000/pokok-pokok-anggaran-pembangunan-tahun-2000/
Jack, Rachmoez, 2015. Prinsip-prinsip dalam penganggaran. http://dominique122.blogspot.com/2015/05/prinsip-prinsip-dalam-penganggaran.html
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemeintah,
2010. Modul Pelatihan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. http://www.lkpp.go.id/v2/files/content/file/Modul_Pengantar_PBJP_1-10.pdf. (Diakses tanggal 5 November 2018)
Rahman. Saiful, 2013. Sistem penganggaran pemerintah. http://saifulrahman.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/Sistem-Penganggaran-Penerintah.pdf
Undang-undang Jasa Kontruksi No.18 Tahun
1999
Undang-undang Jasa Kontruksi No.12 Tahun
2017
Social Plugin